Komik merupakan bahan bacaan yang sangat popular di kalangan
anak-anak. Crayon Shin-Chan, Conan,
Doraemon, Pikachu, Donald Duck, Mickey Mouse, Obelix, Asterix, Tintin,
adalah beberapa tokoh cerita komik yang sangat dikenal oleh anak-anak kota
besar di Indonesia. Semua nama tokoh cerita asing itu begitu melekat dalam
ingatan anak-anak. Kini, anak-anak di kota kecilpun telah mulai banyak tahu
tentang tokoh-tokoh cerita asing tersebut. Mereka mendapatkan pengetahuan
tentangnya dari media massa, terutama dari televisi yang menayangkan film
animasi cerita komik dimaksud. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, maka
sangat memudahkan anak-anak untuk dapat mengetahui komik-komik buatan luar
negeri ini.
Tahun 1951-an, Poerwadarmita penyusun Logat Ketjil Bahasa Indonesia, belum memasukkan istilah komik dalam
kamus yang disusunnya. Bisa diperkirakan bahwa peristilahan tadi masih dianggap
asing. Dalam kamus yang disusun lebih kini, istilah komik tersebut sudah
umum dikenal. Misalnya, dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia (KUBI) akan kita temukan pengertian komik sebagai
"bacaan bergambar, cerita bergambar (dl majalah, surat kabar atau
berbentuk buku)"
Istilah komik berasal dari bahasa Inggris (Amerika?) comic, yang berarti cerita atau buku
komik; yang bersifat gembira (Echols dan Shadily, 1990: 129), cerita bergambar
yang lucu (Wojowasito, 1985: 75). McCloud (2001) dalam buku Understanding Comics yang unik, karena
disusun dalam gaya penceritaan buku komik, memaparkan tentang komik secara
lebih lengkap. Disebutkan, bahwa pengertian komik: "Gambar-gambar serta
lambang-lambang lain yang terjukstaposisi (jukstaposisi
= berdekatan,bersebelahan) dalam turutan tertentu, untuk menyampaikan
informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya" (McCloud,
2001: 9).
Perkembangan pengadaan maupun pembuatan buku komik di
Indonesia tampaknya tidak sama dengan yang terjadi di Amerika, Eropa, ataupun
Jepang. Tahun 1960 s.d. 1970-an tercatat sebagai masa jayanya para pekomik
Indonesia. Namun, keberadaan komik Indonesia memang tidak pernah tetap.
Adanya komik dengan cerita yang beragam dapat berdampak pada gambar karya anak-anak. Pada
tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar menggambar dengan cara
meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek secara mirip. Dalam
beberapa hasil observasi di lapangan, anak usia 5-9 tahun, suka meniru gambar
dalam buku bacaan, gambar buatan temannya, atau juga gambar tokoh-tokoh cerita
yang sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawaan khusus, pada
usia 2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita yang sangat disukainya.
Anak-anak sekolah dasar masih belum bisa berpikir abstrak sehingga dalam hal
menggambar atau yang lainnya, memerlukan suatu contoh yang kongkrit untuk dapat
melaksanakan pembelajarannya.
Hampir seluruh anak-anak sekolah dasar senang meniru gambar
atau karakter tokoh komik kesukaannya. Namun, kesenangan meniru gambar tokoh
cerita kesukaan, terkadang dihambat oleh perkembangan nalar anak yang
semakin realis. Artinya, dalam proses meniru, anak-anak berpikir keras agar
hasil karyanya bisa sama bagusnya dengan tokoh yang ada dalam komik, sehingga
anak tidak bisa berekspresi dengan bebas. Pertimbangan mirip dan tidak mirip
mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar.
Beberapa anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar
karyanya. Hal tersebut dilakukan agar anak bisa memdapat gambar yang persis
sama.
Irama perkembangan masing-masing anak tidak ada sama persis.
Meskipun demikian, hal yang sangat mengejutkan tampak pada gambar buatan
anak-anak yang menjadi objek penelitian ini. Anak laki-laki maupun perempuan
telah sangat terpengaruh oleh adanya tokoh-tokoh komik, terutama komik Jepang.
Hal itu jelas tampak dalam gambar buatan mereka. Jika anak tidak ingin
berespresi banyak dalam menggambar, gambar yang dibuat akan secara khusus
tentang tokoh komik semata. Akan tetapi, banyak pula anak-anak sekolah dasar
yang senang menggabungkan gambar pemandangan alam Indonesia dengan tokoh-tokoh
komik di dalamnya.
Paduan antara gambar tokoh-tokoh komik dengan gambar
pemandangan alam biasanya menjadi favorit bagi anak-anak sekolah dasar. Anak
biasanya memiliki imajinasi yang cukup baik, sehingga dapat memadukan antara
tokoh komik dengan pemandangan. Misalnya, anak menggambar tokoh Doraemon yang
terbang di atas gunung, Donald Duck yang bermain di halaman rumah, dan lain
sebagainya.
Pada saat ini banyak pemerhati komik yang bermunculan. Salah
satu di antaranya, yang giat melakukan seminar dan penelitian tentang pengaruh
komik terhadap anak-anak di Indonesia, adalah Pusat Kajian Komik Indonesia
(PKKI) pada Program Pascasarjana Program Studi Kajian Wanita, Universitas
Indonesia. Mereka meneliti tentang daya tarik komik Jepang bagi anak-anak di
kota besar di Indonesia seperti Jakarta. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan
pemerhatian terhadap komik, berangkat dari kepedulian mereka tentang kondisi
realistis anak-anak terkait dengan komik sebagai sumber pengaruh dalam
pembelajaran anak. Dengan demikian, diharapkan komik yang beredar mampu untuk
mengimbangi perkembangan pemikiran anak-anak.
Banyak hal-hal yang tidak baik yang dilakukan anak yang
meniru perbuatan atau karakter dari tokoh yang sukainya. Contohnya saja, peristiwa
buruk yang terjadi antara tahun 1995-1996. Seorang murid menusuk gurunya.
Peristiwa itu diduga sebagai pengaruh film kartun Neon Genesis Evangelion yang yang tengah naik daun saat itu. Di
dalamnya memang ada adegan salah satu Eva menusuk lawan dengan senjata serupa
pisau cutter. Agar hal tersebut tidak
terjadi lagi, maka perlu disikapi dengan bijaksana. Misalnya dengan melakukan
penyaringan terhadap isi komik anak-anak sehingga tidak ada lagi adegan-adegan
yang berbahaya yang mungkin ditiru oleh anak-anak sebagai pembacanya.
Di Indonesia belum tercatat kasus yang menggemparkan seperti
itu akibat pengaruh komik, hal ini terkait dengan masih rendahnya minat baca
masyarakat kita. Minat baca yang kurang memang mengurangi resiko terpengaruh
oleh hal-hal negatif pada komik, namun hal tersebut membuat Negara Indonesia
tidak pernah maju seperti Negara-negara lainnya. Namun kini, setelah
komik-komik asing dimunculkan lengkap dengan film animasi cerita yang sama di
televisi, video game, play station, video
compact disk (VCD), dan personal computer
game, minat pembaca muda Indonesia tampaknya mulai bangkit. Akibat langsung
dari film animasi dan lebih khusus komik bisa tampak dari kesukaan siswa
sekolah dasar mengoleksi buku komik dan meniru-niru bentuk tokoh kesayangan
mereka dalam bentuk gambar. Sejumlah orang tua berada pun telah mulai
menyediakan fasilitas VCD driver dan mengoleksi aneka VCD berisi cerita animasi
untuk anak-anaknya. Semua perangkat hiburan yang tergolong mewah tersebut telah
nyata dimiliki oleh masyarakat Indonesia, tanpa banyak kesulitan untuk
mendapatkannya. Apalagi pada saat ini keadaan ekonomi Indonesia sudah mulai
membaik tidak sulit lagi untuk mendapatkan perangkat-perangkat tersebut. Dengan
demikian, perangkat tersebut bisa sangat membantu pambelajaran anak.
Pada dasarnya, anak-anak sekolah dasar masa kini sangat
tertarik oleh aneka cerita komik buatan seniman asing, terutama buatan seniman
Jepang. Doraemon, Pokemon, Digimon, Dragon Ball, dan jenis cerita komik
lainnya, telah begitu mengakar dalam ingatan anak-anak. Ketika anak-anak
membuat gambar sebagai tugas yang diberikan oleh guru di sekolah, atau pun
ketika menggambar suka hati di rumah, tokoh-tokoh cerita komik banyak muncul
sebagai objek gambar kesukaan mereka. Oleh karena itu, komik sebagai karya seni
rupa dan sastra, dalam batas tertentu bisa dimanfaatkan sebagai media
pembelajaran. Kesukaan anak-anak terhadap cerita komik, pada satu sisi yang
baik, bisa dimanfaatkan dalam mengolah materi ajar bagai anak SD dalam
bentuk komik juga.
Dengan kesukaan anak-anak sekolah dasar terhadap komik, maka
dalam proses pembelajaran dapat memanfaatkan media komik agar pembelajaran
dapat berlangsung menyenangkan. Kesenangan tersebut akan berpengaruh positif
terhadap hasil karya yang dihasilkan nantinya. Dengan demikian, diharapkan para
calon guru sekolah dasar harus bisa mengidentifikasi dan memahami apa kesukaan
para siswanya, sehingga nantinya mampu merancang pembelajaran yang sesuai
dengan yang diinginkan oleh siswa.